Nuansa Menjelang Shaum Ramadhan Dan Iedul Fitri Di Kampung-ku Dulu
Assalamualikum Warrohmatuloh Wabarokatuh
Teringat suasana menjelang Shaum Romadhon dan Idul Fitri di kampungku dulu. Yang akan terkenang sepanjang masa, teramat indah menggugah kenangan masa lalu.
Blok Pareman kampungku, arah timur kampung Anggacarang, arah selatan dan barat terhampar luas sawah nan hijau yang tembus pandang ke daerah Cibaduyut.
Ke utara masih terhampar luas sawah nan subur dan terlihat jelas wilayah kampung Cihieum/Warna Cinta, Kebon kalapa, Sekekantil/Sandang Pangan dan Kampung Blok Desa/Cadas Ngampar. Yang pada saat itu Jl.By Pass/Soekarna-Hatta masih dalam proses pembangunan.
Saat ini karena perkembangan jaman dan pesatnya pertumbuhan penduduk, suasana kampungku yang dahulu dikelilingi pohon kelapa nan indah ditambah rimbunnya pohon bambu di sebelah timurnya.
Telah digantikan dengan beton-tembok angkuh dan sombong sebuah perumahan, seakan menjadi pemisah rasa kebersamaan, kekeluargaan, silaturahim. Itulah sekilas suasana Kampungku dulu yang susah untuk dilupakan.
Nuansa Menjelang Shaum Ramadhan
1. Nga-Dulag (Memukul Bedug)
Dari pagi sampai sore keesokan hari pertama Shaum, sudah terdengar di Mushola/Tajug/Masjid suara yang nga-dulag (memukul bedug) diselingi memukul Kohkol (Kentongan) saling bersahutan, sehingga suasana menjelang Shaum semakin terasa.
1. Kuramas (Keramas)
Hal ini dilakukan sebagai persiapan melaksanakan Ibadah Shaum esok hari, yang sebenarnya merupakan salah satu syarat sah-nya Shaum yaitu bersih dari hadats besar (Junub).
Namun dulu yang istimewa keramas dilakukan bukan dengan pencuci rambut seperti sekarang ini, tapi dengan tanah liat/tanah porang yang diambil disebelah timur kampungku. Sekitar tebing sungai yang bersebelahan dengan kampung Anggacarang, atau tempat itu biasa disebut “Lebak”.
Dan jangan khawatir sungai pada saat itu airnya masih bersih dan bening, bahkan bisa dipakai berenang. tidak seperti sekarang ini yang sudah terkontaminasi penuh dengan sampah.
Konon khasiat tanah liat/tanah porang :
- Menghitamkan rambut
- Menguatkan akar rambut
- Menghambat proses tumbuhnya uban
Kalau anda ingin mencobanya silahkan saja, tapi dimana mencarinya?, kecuali bagi pembaca yang ada di daerah. Dan mungkin saat ini lebih praktis dengan pencuci rambut modern.
2. Munggah
Kebiasaan ini hampir tidak berubah dari dulu yaitu mempersiapkan makanan khusus pada satu hari menjelang pertama pelaksanaan Shaum dan makanan ini disantap bersama seluruh anggota keluarga menjelang sore hari.
Kebiasaan ini di daerah lain seperti Cianjur disebut dengan istilah PAPAJAR yaitu makan bersama (Botram) tapi dilakukan sambil wisata keluarga yang dilakukan pagi menjelang siang.
3. Tarawih
Meskipun hal ini hukumnya sunat namun di kampungku dulu sangat terasa sekali suasana malam-malam menjelang Shaum. Dan hampir setiap malam waktu sholat wajib sampai sholat tarawih Tajug/Mushola/Masjid selalu penuh.
Dan Astagfirullohal’adzim, dahulu setiap Tarawih dilakukan dengan heureuy (canda). Sampai penulispun pernah digotong kemudian dilemparkan dan jatuh ke lantai. Tapi masih untung karena lantainya masih terbuat dari Palupuh (Bambu yang dibelah dibuat seperti anyaman).
Dengan perkembangan jaman dan teknologi juga media pembelajaran keAgamaan yang baik, suasana Tarawih dengan suasana canda/heureuy seperti diatas, Alhamdulillah sekarang sudah tidak diketemukan lagi.
4. Ngabuburit
Pergi ke sawah ngurek (Mancing Belut) atau hanya main ke alun-alun Bandung dan pulang membawa petasan cécéngékan (Petasan Kecil), beubeuritan (Petasan Kecil bila disulut seperti berlari di tanah dan mengeluarkan suara mirip Tikus), petasan bata. Yang dibeli dipojok selatan lorong Masjid Agung yang sekarang bernama Masjid Raya Bandung.
Membuat Lodong yaitu suatu lubang galian tanah menyerupai parit kecil yang bisa menimbulkan ledakan dengan bahan karbit. Kemudian parit tersebut ditimbun kembali dengan tanah dan diberi lubang kecil di atasnya untuk tempat membakar karbitnya. Dan Dduarr suaranya menggelegar.
Besar kecilnya suara tergantung banyaknya karbit dan besar ruang lodong yang dibuat, dan saat ini Lodong masih ada namun dibuat dengan sepotong bambu ataupun pipa besi ukuran tertentu.
5. Malam lilikuran (Malam Ganjil)
Kekentalan suasana Shaum Ramadhan ketika mendekati Iedul Fitri semakin terasa, karena orang tuaku dulu dan juga tetangga pun sama mulai dengan aktivitas seperti sekarang ini seperti : membeli Pakaian baru, membuat olahan makanan, kirim-kiriman makanan.
5.a. Membeli Pakaian Baru
Ini kebiasaan yang abadi sampai sekarang padahal hal ini tidak wajib, karena sebenarnya cukup pakaian bersih, layak pakai dan cocok dipakai di hari Iedul Fitri.
5.b. Membuat olahan Makanan
Entahlah mungkin tergeser dengan makanan modern atupun hal lain karena saat ini agak susah menemukan makanan yang sering dibuat oleh orang tuaku dulu.
Kalaupun ada rasanya sudah jauh berbeda yang mungkin karena dulu cara membuatnya menggunakan Hawu (Tungku) dan suluh (Kayu Bakar) dan bahan baku lainnya yang mungkin belum tercampur unsur kimiawi.
Makanan yang sering dibuat orang tuaku dulu diantaranya :
- Opak putih dan opak merah
- Kolontong
- Téngténg
- Kiripik Ketan putih dan Ketan Hitam
- Gegetas
- Ranginang ketan putih dan ketan hitam
- Sasagon atau Sayang Mekar
- Dodol
- Gegeplak
- Peuyeum Ketan Hitam dan Ketan Putih (Tape)
- Ulén
- Goreng Suuk (Kacang)
5.c. Kirim-kiriman Makanan
Merupakan hal yang luar biasa kalau ditinjau dari segi ekonomi saat ini, karena orang tua kita dulu setiap Shaum menjelang Iedul Fitri selalu berbagi, baik dengan saudara, tetangga meskipun kadangkala jarak tempuh cukup jauh. Ini merupakan budaya luhur yang menguatkan ikatan Silaturahmi, tidak membedakan antara yang kaya dan yang miskin semua berbagi dengan saling tukar makanan.
Meskipun pada saat itu saya harus membawa 5 sampai 10 set rantangan yang dibawa dengan digotong oleh dua orang dengan batang bambu (Rancatan-Sunda). Melewati sawah, kebun bambu dengan menempuh jarak 3 km - 5km jalan kaki, Alhamdulillah tidak merasa capek dan tentu dilakukan dengan senang hati. Sekarang mah pasti naik ojeg, angkot atau dengan jasa Gosen.
6. Pulang Kampung “Mudik”
Pulang ke kampung halaman atau pulang ke udik, inilah yang menjadikan saya bangga jadi orang kampung meskipun sering ada istilah bahasa “Kampungan”. Karena apa bedanya orang kampung dengan orang kota dan apa istimewanya orang kota?
Saya lahir di kampung Blok Pareman Bandung yang sangat toleran, penuh kebersamaan, mengenal tata krama sopan santun, tidak individualisme, dengan menjunjung tinggi Silaturahmi.
Tapi sayang kebiasaan pulang kampung belum pernah dilakukan karena semua keluarga berada di Bandung. Dan kebetulan orang tuaku dulu yang selalu mendapat kunjungan tetangga dan dari saudara dekat atau jauh baik saudara dari Jakarta, Bekasi dan Padeglang.
Baca juga: 3 Kebiasan Menjelang Idul Fitri (Lebaran) Ini, Mana Lebih Penting
Nuansa Menjelang Lebaran
7. Malam Takbiran
Meskipun listrik belum ada pada saat itu namun tetap terang kampung-ku karena hampir setiap rumah menyalakan lampu petromak. Dan nuansa Iedul Fitri semakin terasa dengan terdengarnya suara Takbiran disetiap Mushola/Tajug/Masjid baik di wilayah kampungku maupun daerah sekitarnya, Allohu Akbar.
Ada hal yang menarik pada setiap malam Takbiran, yaitu di setiap rumah sudah disediakan makanan untuk diberikan ke Mushola/Tajug/Masjid terdekat. Hal ini pun dilakukan oleh orang tuaku, mereka telah mempersiapkan kurang lebih satu penampan (Nyiru) makanan yang nantinya sekitar jam 00.00 WIB diberikan ke Mushola/Tajug/Masjid.
8. Hari Raya Iedul Fitri
Minal Aidin Wal Faidzin,Mohon Maaf Lahir dan Bathin, berbondong-bondong ke tanah lapang untuk melakukan sholat Ied bersama seluruh warga sekampung.
Suasana Iedul Fitri bersama orang tua dan berkumpul semua saudara, tetangga dengan pakaian baru dan sepatu baru (maklum anak-anak) sangat terasa sekali, khidmat dan khusu.
Dilanjutkan dengan sungkem pada kedua orang tua, saudara dan tetangga diselingi isak tangis penuh ma’af dan do’a.
Beruntunglah bagi anda yang masih memiliki keluarga yang utuh apalagi orang tua masih ada. Jangan sia-siakan mereka dan jangan campakan orang tua kita. Hormati, sayangi, turuti perintahnya.
Itulah sedikit cerita mengenai suasana kampungku dulu, yang penuh kebersamaan, kekeluargaan. Meskipun dengan keserhanaan tapi kekentalan adat dan budaya masih tinggi, yang pada dasarnya tetap menjaga silaturahmi dan menjungjung tinggi Ukuwah Islamiyah.
Demikian semoga bermanfaat, terima Kasih.
Wassalamualaikum Warrohmatuloh Wabarokatuh.
Teringat suasana menjelang Shaum Romadhon dan Idul Fitri di kampungku dulu. Yang akan terkenang sepanjang masa, teramat indah menggugah kenangan masa lalu.
Blok Pareman kampungku, arah timur kampung Anggacarang, arah selatan dan barat terhampar luas sawah nan hijau yang tembus pandang ke daerah Cibaduyut.
Ke utara masih terhampar luas sawah nan subur dan terlihat jelas wilayah kampung Cihieum/Warna Cinta, Kebon kalapa, Sekekantil/Sandang Pangan dan Kampung Blok Desa/Cadas Ngampar. Yang pada saat itu Jl.By Pass/Soekarna-Hatta masih dalam proses pembangunan.
Saat ini karena perkembangan jaman dan pesatnya pertumbuhan penduduk, suasana kampungku yang dahulu dikelilingi pohon kelapa nan indah ditambah rimbunnya pohon bambu di sebelah timurnya.
Telah digantikan dengan beton-tembok angkuh dan sombong sebuah perumahan, seakan menjadi pemisah rasa kebersamaan, kekeluargaan, silaturahim. Itulah sekilas suasana Kampungku dulu yang susah untuk dilupakan.
Nuansa Menjelang Shaum Ramadhan
1. Nga-Dulag (Memukul Bedug)
Dari pagi sampai sore keesokan hari pertama Shaum, sudah terdengar di Mushola/Tajug/Masjid suara yang nga-dulag (memukul bedug) diselingi memukul Kohkol (Kentongan) saling bersahutan, sehingga suasana menjelang Shaum semakin terasa.
1. Kuramas (Keramas)
Hal ini dilakukan sebagai persiapan melaksanakan Ibadah Shaum esok hari, yang sebenarnya merupakan salah satu syarat sah-nya Shaum yaitu bersih dari hadats besar (Junub).
Namun dulu yang istimewa keramas dilakukan bukan dengan pencuci rambut seperti sekarang ini, tapi dengan tanah liat/tanah porang yang diambil disebelah timur kampungku. Sekitar tebing sungai yang bersebelahan dengan kampung Anggacarang, atau tempat itu biasa disebut “Lebak”.
Dan jangan khawatir sungai pada saat itu airnya masih bersih dan bening, bahkan bisa dipakai berenang. tidak seperti sekarang ini yang sudah terkontaminasi penuh dengan sampah.
Konon khasiat tanah liat/tanah porang :
- Menghitamkan rambut
- Menguatkan akar rambut
- Menghambat proses tumbuhnya uban
Kalau anda ingin mencobanya silahkan saja, tapi dimana mencarinya?, kecuali bagi pembaca yang ada di daerah. Dan mungkin saat ini lebih praktis dengan pencuci rambut modern.
2. Munggah
Kebiasaan ini hampir tidak berubah dari dulu yaitu mempersiapkan makanan khusus pada satu hari menjelang pertama pelaksanaan Shaum dan makanan ini disantap bersama seluruh anggota keluarga menjelang sore hari.
Kebiasaan ini di daerah lain seperti Cianjur disebut dengan istilah PAPAJAR yaitu makan bersama (Botram) tapi dilakukan sambil wisata keluarga yang dilakukan pagi menjelang siang.
3. Tarawih
Meskipun hal ini hukumnya sunat namun di kampungku dulu sangat terasa sekali suasana malam-malam menjelang Shaum. Dan hampir setiap malam waktu sholat wajib sampai sholat tarawih Tajug/Mushola/Masjid selalu penuh.
Dan Astagfirullohal’adzim, dahulu setiap Tarawih dilakukan dengan heureuy (canda). Sampai penulispun pernah digotong kemudian dilemparkan dan jatuh ke lantai. Tapi masih untung karena lantainya masih terbuat dari Palupuh (Bambu yang dibelah dibuat seperti anyaman).
Dengan perkembangan jaman dan teknologi juga media pembelajaran keAgamaan yang baik, suasana Tarawih dengan suasana canda/heureuy seperti diatas, Alhamdulillah sekarang sudah tidak diketemukan lagi.
4. Ngabuburit
Pergi ke sawah ngurek (Mancing Belut) atau hanya main ke alun-alun Bandung dan pulang membawa petasan cécéngékan (Petasan Kecil), beubeuritan (Petasan Kecil bila disulut seperti berlari di tanah dan mengeluarkan suara mirip Tikus), petasan bata. Yang dibeli dipojok selatan lorong Masjid Agung yang sekarang bernama Masjid Raya Bandung.
Membuat Lodong yaitu suatu lubang galian tanah menyerupai parit kecil yang bisa menimbulkan ledakan dengan bahan karbit. Kemudian parit tersebut ditimbun kembali dengan tanah dan diberi lubang kecil di atasnya untuk tempat membakar karbitnya. Dan Dduarr suaranya menggelegar.
Besar kecilnya suara tergantung banyaknya karbit dan besar ruang lodong yang dibuat, dan saat ini Lodong masih ada namun dibuat dengan sepotong bambu ataupun pipa besi ukuran tertentu.
5. Malam lilikuran (Malam Ganjil)
Kekentalan suasana Shaum Ramadhan ketika mendekati Iedul Fitri semakin terasa, karena orang tuaku dulu dan juga tetangga pun sama mulai dengan aktivitas seperti sekarang ini seperti : membeli Pakaian baru, membuat olahan makanan, kirim-kiriman makanan.
5.a. Membeli Pakaian Baru
Ini kebiasaan yang abadi sampai sekarang padahal hal ini tidak wajib, karena sebenarnya cukup pakaian bersih, layak pakai dan cocok dipakai di hari Iedul Fitri.
5.b. Membuat olahan Makanan
Entahlah mungkin tergeser dengan makanan modern atupun hal lain karena saat ini agak susah menemukan makanan yang sering dibuat oleh orang tuaku dulu.
Kalaupun ada rasanya sudah jauh berbeda yang mungkin karena dulu cara membuatnya menggunakan Hawu (Tungku) dan suluh (Kayu Bakar) dan bahan baku lainnya yang mungkin belum tercampur unsur kimiawi.
Makanan yang sering dibuat orang tuaku dulu diantaranya :
- Opak putih dan opak merah
- Kolontong
- Téngténg
- Kiripik Ketan putih dan Ketan Hitam
- Gegetas
- Ranginang ketan putih dan ketan hitam
- Sasagon atau Sayang Mekar
- Dodol
- Gegeplak
- Peuyeum Ketan Hitam dan Ketan Putih (Tape)
- Ulén
- Goreng Suuk (Kacang)
5.c. Kirim-kiriman Makanan
Merupakan hal yang luar biasa kalau ditinjau dari segi ekonomi saat ini, karena orang tua kita dulu setiap Shaum menjelang Iedul Fitri selalu berbagi, baik dengan saudara, tetangga meskipun kadangkala jarak tempuh cukup jauh. Ini merupakan budaya luhur yang menguatkan ikatan Silaturahmi, tidak membedakan antara yang kaya dan yang miskin semua berbagi dengan saling tukar makanan.
Meskipun pada saat itu saya harus membawa 5 sampai 10 set rantangan yang dibawa dengan digotong oleh dua orang dengan batang bambu (Rancatan-Sunda). Melewati sawah, kebun bambu dengan menempuh jarak 3 km - 5km jalan kaki, Alhamdulillah tidak merasa capek dan tentu dilakukan dengan senang hati. Sekarang mah pasti naik ojeg, angkot atau dengan jasa Gosen.
6. Pulang Kampung “Mudik”
Pulang ke kampung halaman atau pulang ke udik, inilah yang menjadikan saya bangga jadi orang kampung meskipun sering ada istilah bahasa “Kampungan”. Karena apa bedanya orang kampung dengan orang kota dan apa istimewanya orang kota?
Saya lahir di kampung Blok Pareman Bandung yang sangat toleran, penuh kebersamaan, mengenal tata krama sopan santun, tidak individualisme, dengan menjunjung tinggi Silaturahmi.
Tapi sayang kebiasaan pulang kampung belum pernah dilakukan karena semua keluarga berada di Bandung. Dan kebetulan orang tuaku dulu yang selalu mendapat kunjungan tetangga dan dari saudara dekat atau jauh baik saudara dari Jakarta, Bekasi dan Padeglang.
Baca juga: 3 Kebiasan Menjelang Idul Fitri (Lebaran) Ini, Mana Lebih Penting
Nuansa Menjelang Lebaran
7. Malam Takbiran
Meskipun listrik belum ada pada saat itu namun tetap terang kampung-ku karena hampir setiap rumah menyalakan lampu petromak. Dan nuansa Iedul Fitri semakin terasa dengan terdengarnya suara Takbiran disetiap Mushola/Tajug/Masjid baik di wilayah kampungku maupun daerah sekitarnya, Allohu Akbar.
Ada hal yang menarik pada setiap malam Takbiran, yaitu di setiap rumah sudah disediakan makanan untuk diberikan ke Mushola/Tajug/Masjid terdekat. Hal ini pun dilakukan oleh orang tuaku, mereka telah mempersiapkan kurang lebih satu penampan (Nyiru) makanan yang nantinya sekitar jam 00.00 WIB diberikan ke Mushola/Tajug/Masjid.
8. Hari Raya Iedul Fitri
Minal Aidin Wal Faidzin,Mohon Maaf Lahir dan Bathin, berbondong-bondong ke tanah lapang untuk melakukan sholat Ied bersama seluruh warga sekampung.
Suasana Iedul Fitri bersama orang tua dan berkumpul semua saudara, tetangga dengan pakaian baru dan sepatu baru (maklum anak-anak) sangat terasa sekali, khidmat dan khusu.
Dilanjutkan dengan sungkem pada kedua orang tua, saudara dan tetangga diselingi isak tangis penuh ma’af dan do’a.
Beruntunglah bagi anda yang masih memiliki keluarga yang utuh apalagi orang tua masih ada. Jangan sia-siakan mereka dan jangan campakan orang tua kita. Hormati, sayangi, turuti perintahnya.
Itulah sedikit cerita mengenai suasana kampungku dulu, yang penuh kebersamaan, kekeluargaan. Meskipun dengan keserhanaan tapi kekentalan adat dan budaya masih tinggi, yang pada dasarnya tetap menjaga silaturahmi dan menjungjung tinggi Ukuwah Islamiyah.
Demikian semoga bermanfaat, terima Kasih.
Wassalamualaikum Warrohmatuloh Wabarokatuh.